Dan kau lihat . . .
Bulan sabit itu mengintip
Mengiris awan, menabur bintang
Tersenyum, menyaksikan kita bercanda lagi
Meja dengan hiasan gelas kaca
Serta . . ., kursi-kursi yang baik hati
Mempersilahkan kita duduk
Berpandangan . . .
Bening matamu pun bercerita
Tentang detak jam, tujuh tahun yang berlalu
Juga seiris senyum yang masih semanis dulu
Semua terasa indah diiringi nyanyian merdu sang malam
Di beranda itu . . .
(entahlah, yang aku tau aku mencintaimu)
Nyanyian malam seketika terhenti
Bulan sabit teriris senyumannya sendiri
Menyaksikan hati yang pecah, tenggelam di lautan kekecewaan(1)
Karena . . .
“ Tunangan “ itu tiba-tiba muncul
Mengoyak senyum manis bibir merah
(1) Harga yang harus dibayar untuk seiris senyuman
Hanyalah gadis hitam-putih lusuh
Setia menemani setiap detik, tujuh tahun berlalu
Prihatin dengan Hari itu
Namun . . .
Ia hanya bisa diam menyaksikan semuanya
Hati yang hancur perlahan,
Dengan pecahan menembus tulang
August 30, 2002
Bulan sabit itu mengintip
Mengiris awan, menabur bintang
Tersenyum, menyaksikan kita bercanda lagi
Meja dengan hiasan gelas kaca
Serta . . ., kursi-kursi yang baik hati
Mempersilahkan kita duduk
Berpandangan . . .
Bening matamu pun bercerita
Tentang detak jam, tujuh tahun yang berlalu
Juga seiris senyum yang masih semanis dulu
Semua terasa indah diiringi nyanyian merdu sang malam
Di beranda itu . . .
(entahlah, yang aku tau aku mencintaimu)
Nyanyian malam seketika terhenti
Bulan sabit teriris senyumannya sendiri
Menyaksikan hati yang pecah, tenggelam di lautan kekecewaan(1)
Karena . . .
“ Tunangan “ itu tiba-tiba muncul
Mengoyak senyum manis bibir merah
(1) Harga yang harus dibayar untuk seiris senyuman
Hanyalah gadis hitam-putih lusuh
Setia menemani setiap detik, tujuh tahun berlalu
Prihatin dengan Hari itu
Namun . . .
Ia hanya bisa diam menyaksikan semuanya
Hati yang hancur perlahan,
Dengan pecahan menembus tulang
August 30, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar