Selasa, 11 Maret 2008

Mencarimu

Ku habiskan malam hanya untuk mencarimu
Gelap malam telah ku lalui demi kamu
Hingga ku temukan diriku terbaring di sini
Tanpa seorang pun di sisi, sendiri . . .

Dingin . . .
Kabut telah mengaburkan semua
Di sini aku sekarat, tanpa cinta . . .

Februari 11, 2006

Sepotong Senyum

Biarkan purnama itu tergantung di sana
Mendung hitam takkan mampu meredupkannya
Sinar lembutnya akan tetap tercurah
Terbias di wajah cantikmu . . . .

Biarkan pula rasa ini tertanam di sini
Biarkan akar-akar tajamnya menusuk laksana duri
Sepotong kenangan akan menjaganya tetap di hati
Sepotong kenangan tentang senyummu . . . .

April 22, 2005

Karena Semua Nampak Begitu Indah di Mataku

Aku tak ingin lagi
Lari dan sembunyi dari perasaan ini
Sungguh tak ingin lagi
Mencoba menghapus namamu di hati

April 20, 2005

Setelah Lima Tahun

Mentari masih tak terlalu tinggi tergantung di cakrawala timur. Sinarnya terasa nyaman menghangatkan tubuhku yang sudah beraktivitas di halaman depan menikmati segarnya pagi. Menikmati? Tidak juga. Sebuah pertanyaan masih saja berputar-putar di otakku. Sudah sejak beberapa hari belakangan ini pertanyaan itu menggangguku. Pertanyaan yang sering membuat tidurku tak pulas. Tetapi mungkin jawabannya akan aku dapatkan beberapa jam lagi.

Meskipun segarnya pagi ini tak bisa kunikmati, aku tetap menyambutnya dengan sedikit pengharapan di hati. Walau aku tahu ini hanya harapan kosong semata. Tapi aku tak pernah berhenti berharap. Hidup tak akan berarti tanpa harapan dan impian untuk diwujudkan.

Dengan teliti aku bersihkan setiap sudut sepeda motorku, ku cuci sampai bersih dan mengkilat. Ini aku lakukan hanya kalau ingin ke rumah cewe. Dan kali ini dia adalah seorang cewe yang paling istimewa buatku. Maka semuanya serba tak biasa. Setengah jam kemudian aku sudah rapi di depan cermin walau ku lihat ada jerawat di ujung bibir bawahku. Aku rapikan rambutku dan tak lupa juga aku semprotkan cologne murahan ke ketiakku. Walau murahan gak papa. Biar gak BauKet!!!!!

Aku pun berpamitan, “ Buk, aku ke Sidoarjo. Ke rumahnya Kartini “

Entah berapa lama waktu perjalananku hingga sampai ke rumahnya. Sepanjang jalan aku hanya bertarung melawan rasa nervous yang terus saja membekapku. Motor yang biasa ku pacu kencang, saat itu terasa lambat merambat.

Aku hentikan motorku di depan pintu besi rumahnya. Aku turun untuk memastikan ia ada di rumah atau tidak. Sesaat kemudian muncul seorang gadis cantik walau tanpa senyum di wajahnya. Entah bagaimana cantiknya jika dia tersenyum. Terus terang saja, jarang sekali aku melihatnya tersenyum untukku. Yang sering ku lihat adalah senyum yang tertahan di hatinya.

“ Masuk saja. Ngapain kamu di luar??? “ sapanya dingin.
Tapi aku sudah terbiasa dengan itu. Aku pun memarkir sepeda motorku di halaman rumahnya.
“ Lagi ngapain, Tin?? “ tanyaku.
“ Cuci baju “
“ Ada perlu apa kemari?? “ lanjutnya.
“ Cuma mampir. Aku mau men-scan beberapa foto di warnet yang dulu “
“ Emang di tempat kamu gak ada? “
“ Ada sih... tapi hasilnya jelek “

Setelah membereskan cuciannya, dia pun beranjak ke kamar mandi.
“ Aku mandi dulu ya....... “

Kurang lebih 30 menit kemudian Kartini sudah nampak lebih segar. Mungkin rasa penat keringatnya setelah mencuci baju sudah hilang. Aroma wangi pun tercium dari tubuhnya. Berbeda denganku yang masih saja berkutat dengan rasa gugup yang sedikit demi sedikit sudah bisa ku kendalikan. Ia melangkah menghampiri meja makan. Tangan lembutnya menuangkan sirup berwarna merah ke dalam gelas kaca dengan beberapa potong es batu.
“ Likah sudah menikah “ ucapku membuka pembicaraan.
“ Aku tau. Slamet sudah ngasih tau aku “
“ Oooo “
“ Likah kok nggak ngasih tau kita ya?? Kita kan temennya. “
“ Entahlah, mungkin dia pengen bikin kejutan buat kita “ jawabku sekenanya.
“ Nih, silahkan diminum. Sorry aku hanya punya itu aja “
“ Makasih, Tin “
Manis. Tapi aku tak terlalu suka rasa manis. Walau bagaimana pun juga aku menerimanya dengan senang hati. Setidaknya setiap teguknya bisa membantu mengurangi rasa gugupku.

“ Kamu ngerjain apa lagi, Tin?? “ tanyaku lagi.
“ Tugas “
“ Tugas apaan? “
“ Merangkum. Dosennya kuno banget. Masak dah punya buku masih disuruh merangkum “
“ Emang berapa halaman?? “
“ Satu buku!! “
“ Waduh! “

Kartini nampak serius dengan pekerjaannya. Sebenarnya aku tidak ingin mengganggunya. Tapi aku sudah tak sabar lagi ingin mengungkapkan semua. Tak peduli walau rasa gugup itu masih ada. Aku yakin lidahku takkan keluh. Aku yakin perasaan ini tak bersalah. Dan yang terpenting, aku yakin Kartini akan mau mengerti perasaanku.

“ Tin, boleh ngganggu sebentar gak?? “
“ Ada apa? “ Dia menoleh dan menghentikan pekerjaannya.
“ Aku mo ngomong “
“ Soal apa? “
Aku menghela nafas sejenak.
“ Mungkin kamu dah tau kalo aku punya perasaan sayang ama kamu . . . . “
“ Oo yang itu . . . “ sela Tini.
Dia kembali meneruskan pekerjaannya dan tak lagi memandangku. Sepintas muncul rasa kecewaku namun aku tahan agar Kartini tidak mengetahuinya.

“ Selama ini aku selalu menutupi rasa cintaku ama kamu karena aku takut kamu akan menjauhiku kalo kamu tau perasaanku yang sebenarnya. Selama ini aku nggak merasa tenang. Karna itu mulai sekarang aku pengen secara terus terang mencintai kamu. “
“ Bagiku, temen ya temen. Aku ingin kita berdua temanan aja. Nggak usah yang aneh-aneh “
“ Loh?! Dari dulu kita kan teman. Hanya saja aku punya perasaan yang lebih pada kamu. “
Kartini pun diam.
“ Dengan aku ngomong gini bukan berarti aku memintamu untuk menyukaiku. Aku hanya pengen kamu tau. Itu aja. Dan kalo kamu pengen aku ngilangin perasaan ini, aku minta maaf aku gak bisa, aku dah nyoba “

* * *

Mungkin sekitar 10 menit kami saling diam. Mungkin aku sudah merasa lega walau ada sedikit kecewa yang terasa sakit di hati. Tapi bukankah aku sudah berteman akrab dengan kekecewaan itu?? Yang terpenting bagiku adalah aku sudah mengungkapkannya setelah 5 tahun ngendon dalam hati. Setelah 5 tahun perasaan ini terpendam akhirnya semua telah terucap. Aku lega.

Kuhabiskan teguk terakhir minumanku. Aku berdiri dan mengambil jaket. Aku tak ingin berlama-lama dalam kebisuan.
“ Kamu mau kemana?? “ tanya Kartini
“ Pulang “
“ Kamu marah ya padaku?? “
“ Enggak kok. Biasa aja. Aku pulang emang udah siang. Aku juga mau men-scan foto. “
“ Maafin aku, Yan “
“ Kamu gak salah. Aku yang minta maaf dah ngganguin kamu belajar. “
“ Aku pulang . . . . . “

Aku pun pulang dengan sebuah jawaban. “ Mencintainya bukanlah suatu kesalahan. “


Sidoarjo, 13 April 2005

Tujuh Tahun

Dan kau lihat . . .
Bulan sabit itu mengintip
Mengiris awan, menabur bintang
Tersenyum, menyaksikan kita bercanda lagi

Meja dengan hiasan gelas kaca
Serta . . ., kursi-kursi yang baik hati
Mempersilahkan kita duduk
Berpandangan . . .

Bening matamu pun bercerita
Tentang detak jam, tujuh tahun yang berlalu
Juga seiris senyum yang masih semanis dulu
Semua terasa indah diiringi nyanyian merdu sang malam

Di beranda itu . . .
(entahlah, yang aku tau aku mencintaimu)

Nyanyian malam seketika terhenti
Bulan sabit teriris senyumannya sendiri
Menyaksikan hati yang pecah, tenggelam di lautan kekecewaan(1)
Karena . . .
“ Tunangan “ itu tiba-tiba muncul
Mengoyak senyum manis bibir merah
(1) Harga yang harus dibayar untuk seiris senyuman

Hanyalah gadis hitam-putih lusuh
Setia menemani setiap detik, tujuh tahun berlalu
Prihatin dengan Hari itu
Namun . . .
Ia hanya bisa diam menyaksikan semuanya
Hati yang hancur perlahan,
Dengan pecahan menembus tulang

August 30, 2002

Memory

Ku pandangi langit malam
Wajah cantikmu kembali terpampang
Dan bulan sabit itu,
Nampak seperti senyummu

Segar aroma tubuhmu
Seperti gerimis di pagi hari
Atau mungkin seperti embun yang luruh,
Jatuh membasuh bunga mewangi

Ku sadari . . . .
Aku terperangkap dalam memory
Kenangan selalu menjadi pengisi hari
Gambar-gambar tentang dirimu,
Terus tersaji di depan mataku

June 16, 2004

Senin, 10 Maret 2008

Bayangan

Bayangan . . .
Begitu dekat, begitu setia
Walau jarang kau perhatikan

Kemana engkau pergi
Kesana ia menuju
Kemana engkau berlari
Kesana ia akan mengejarmu

Saat malam tiba dan bulan menyapa
Saat bayanganmu mulai memudar
Aku akan jadi bayangan
Di sampingmu

February 10, 2004

Lupakan Aku !!



Mentari senja mulai memerah
Nampak menembus awan kelabu di ujung barat
Membias di awan-awan, menorehkan warna jingga
Angin semilir berbisik sebuah kalimat :
Lupakan aku !

Wajah cantikmu kembali melintas
Menyuguhkan senyuman manis segelas
Di temani bintang-bintang, walaupun tanpa rembulan
Kau dan aku, berdua di beranda
Bercerita tentang malam indah saat LDK

Kau sibakkan rambut yang terurai di dahi
Aku hanya bisa memandangi segala keindahanmu
Mulutku ingin berkata : aku cinta kamu
Aku hanya bisa meneriakkannya di hati ini

Dan yang kulihat adalah,
Mata dan bibirmu berbisik :
Lupakan aku !

Dan kini . . . ( setahun telah berlalu )
Kau masih berbisik . . .


November 10, 2003

Rahasia Senja



Di bawah langit senja
Yang selalu merahasiakan dirinya
Sesaat ku lihat awan berbaju jingga
Mulai memudar tanpa berkata

Ketika semilir angin
Membisik telinga, bercerita kabar gembira :
" Kau akan segera bertemu dia "

Dan ketika tiup lembutnya
Meniup mataku, tertidur . . . .
Menerbangkan jiwaku jauh ke kerajaan mimpi

Ku lihat permaisuriku telah menunggu
Duduk terpaku di singgasana biru
Dengan sinar mata penuh rindu

Hatiku berteriak :
Fajar!! Jangan bangunkan aku!

March 20, 2002

19 Desember

19 Desember 2002 ( Lima Menit Lepas Dari Jam Lima Sore )
Kaca jendela bus mulai terlihat buram. Awan hitam di atas sana mulai meneteskan air matanya. Sekejap kemudian menjadi lebat berderai. Aku hanya bisa diam membisu memandangi deraian air hujan dari dalam bus yang terus melaju. Tampak di luar sana, kendaraan-kendaraan sudah menyalakan lampunya menyambut petang. Senja kala itu memang begitu jelek, muram tak bercahaya. Seperti pikiranku yang begitu kacau tak karuan. Aku merasa sangat gelisah. Dua pilihan yang sangat sulit. Di satu sisi aku harus menghargai diriku sendiri sebagai laki-laki dengan menepati janjiku. Di sisi lain aku tidak mau Tini membenciku cuma karena sebuah janji. Aku takut kehilangan dia.

Suatu Malam Di Akhir September 2002
“ Baiklah Tini, kalo kamu memang nggak mau kerja di sana lagi, biar aku saja yang kerja buat kamu. Akan ku lakukan untukmu.”
Tini hanya diam. Mungkin bengong, mungkin kaget. Kenapa orang yang dia anggap cuma teman biasa mau melakukan itu. Atau mungkin Tini meganggap itu hanya omong kosong belaka.

Pertengahan November 2002 ( Menjelang Petang )
Kerja kerasku selama kurang lebih satu setengah bulan mulai menuai hasil. Walau Cuma beberapa lembar uang lima puluh ribuan, tentu saja, buat Tini. Dengan pasti ku melangkah menuju kantin. Langkahku cepat karena tak sabar.
“ Tini ada, mbak Ana ? “
“ Wah ndak ada. Tadi pagi ia pulang ke Lamongan sama masnya “
“ Oh, sial! “
“ Kenapa ? ada perlu penting ? “
“ Ndak, cuma mo main aja kok “
“ Dia mungkin akan tinggal agak lama disana “
“ Sampe kapan, mbak ? “
“ Aku nggak tau. Tapi mungkin lebaran nanti kesini “
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

19 Desember 2002 ( Jam Enam Kurang Dua Puluh Menit )
Hujan mulai mereda. Tetapi belum juga berhenti. Malh bus itu yang berhenti menurunkan penumpangnya. Aku tersadar dari lamunanku. Ku pejamkan mata dan menghela nafas panjang. Mencoba untuk sedikit menenangkan diri. Namun tak ada hasil. Aku semakin gelisah.
“ Kau sudah membuat Tini marah. Apa yang akan kau katakan nati padanya. Kau memang bodoh ! “ keluhku pada bayanganku sendiri yang ku lihat di kaca bus.

14 Desember 2002 ( Beberapa Hari Setelah Lebaran )
“ Maaf lahir batin, mbak Ana, mbak Lilik “
“ Ya. Sama-sama “
“ Gimana kabarnya ? “
“ Baik, mbak “
“ Masih kerja di JVC ?”
“ Udah nggak lagi, mbak. “
“ Aku sekarang kerja di sebuah proyek pabrik di Krian “
“ Sayang ya, dulu Tini keluar dari JVC, Jadinya sekarang ia nganggur “
keluh mbak Ana.
“ Ehm. . . Tini mana lho, mbak ? Kok nggak keliatan ? “
“ Dia masih di Lamongan, belum kesini “
“ Kok lama ya, mbak. “
“ Ya ndak tau. Kalo kamu ada sesuatu yang pengen disampaikan, kamu nulis surat aja. Besok aku ke Lamongan “ ujar mbak Lilik.
“ Emmm… ya deh”
Aku menulis kan beberapa kata dalam selembar kertas.
“ Telah ku lakukan untukmu “
Aku juga menyisipkan beberapa lembar uang ke dalamnya. Yang menurutku, adalah uang milik Tini.

16 Desember 2002 ( Selepas Isya’ )
“ Riyan, Telfon dari Tini ! “ teriak ibukku
“ Ya . . . bentar “
“ Hallo ?? . . . , Riyan ? “
“ Ya, ada pa, Tin ? “
“ Maksudmu apa kamu ngasih aku uang ini ? “ tanya Tini dengan nada sedikit tinggi.
“ Uang yang mana ? “
“ Sudahlah. Jangan pura-pura . . . yang di dalam surat ! “
“ Oh yang itu. . Aku cuma mau nepatin janji “
“ Janji yang mana ? “ nada suara Tini masih terdengar agak tinggi
“ Aku dulu kan bilang aku akan kerja disana buat kamu “
“ Jadi ini hasil kamu di JVC ? “
“ Aku rasa begitu “
“ Kalo gitu ini ya uang kamu. Wong kamu yang kerja kok “
“ Aku kan kerja buat kamu “
“ Kamu jangan aneh-aneh gitu dong, Yan “
“ Aneh gimana ? “
“ Ah sudahlah ! Kalo nggak hari Rabu ya Kamis aku ke Surabaya. Pokoknya kamu harus ambil uang ini “
“ Ya aku akan kesana tapi aku nggak janji akan nganbil uangnya “
“ Pokoknya harus ! “
( Bruak ! Tut . . .tut . . . tut . . . tut . . . )

19 Desember 2002 ( Batas Selatan Kota Surabaya )
Tetes air hujan sudah tak terlihat lagi. Bahkan di angkasa nampak beberapa bintang mengedipkan matanya. Rembulan indah yang sempat menghilang sudah kembali bersinar seiring mendung hitam yang berlalu ke barat.
“ Menanggal ?! Ada yang turun Menanggal ?! “ teriak kondektur bus
“ Ya, Menanggal Pak ! “
Aku terbangun dari lamunanku. Tak terasa sudah sampai di Surabaya. Ku rapikan jaketku dan melangkah turun. Sang bus pun berpamitan dengan kepulan asap hitamnya.
Aku melangkah memasuki gerbang sekolah. Langkahku terasa kaku. Dadaku berdegup kencang dan hampir membuatku tak bisa bernapas. Pandanganku lurus, namun terasa ada kegalauan menggelayut di mataku. Aku terus melangkah menuju kantin. Tempat tinggal Tini di Surabaya. Juga tempat ku, David Slamet dan juga Likah biasa bercanda, ngobrol bersama sambil menghabiskan donat di kantin mbak Ana. Dulu sewaktu STM. Sebuah kenangan indah yang kini di ambang kesirnaan.

Dari ujung koridor, ku lihat beberapa sosok wanita sedang asik ngobrol di beranda kantin. Mungkin Tini salah satunya.
“ Lho, Riyan. Tini belum pulang “
“ Masih di Lamongan ? katanya kesini “
“ Ya, kemaren dia datang. Tapi tadi sore ia pamitan mo ke rumah temennya di Sidoarjo “ jawab mbak Ana
“ Jam berapa pulangnya mbak ? “
“ Ndak tau. Mungkin sebentar lagi. Kemaren kamu ditunggu lho. “
“ Ya, mbak. Kemaren aku lembur sampe jam 9 “
“ Ada apa sih ? “ sela mbak Lilik
“ Nggak ada apa-apa. Cuma kangen aja kok “
“ Tadi berangkatnya sekitar jam 5 sore “
“ Oh ya, biar aku tunggu saja disini “

Jam di kantin terus berputar. Jam tujuh sudah lewat, sudah 30 menit yang lalu. Di beranda itu aku menunggu, ditemani mbak Lilik yang dari tadi bercerita panjang lebar tentang pacarnya serta tentang orang ketiga di antara mereka. Aku mendengar tidak dengan seksama. Telingaku mendengar tetapi tak menghiraukan. Hatiku gelisah, pikiranku semakin kacau. Aku takut Tini tidak mau menerima alasanku dan kemudian membenciku. Aku benar-benar tak ingin Tini membenciku.

Hampir jam 9 malam, tetapi Tini belum kelihatan batang hidungnya yang imut-imut. Mbak Lilik mungkin sudah capek bercerita. Ia baru saja pamit mau sholat isya’. Nyamuk-nyamuk pengganggu pun berganti menemani. Berkali-kali aku menggaruk kaki dan tanganku. Dasar nyamuk sialan ! Tiba-tiba suara laglah kaki mengalihkan perhatianku. Aku tak lagi menghiraukan nyamuk. Perhatianku kini tertuju pada sesosok gadis yang keluar dari koridor sebelah kantor. Ya. Tini.
“ Sudah lama nunggu ? “
“ Ya, lumayan. Kamu kerasan juga ya main di luar ? “
“ Lagian ngapain disini, bosen “
“ Dari mana aja tadi ? “
“ Ya dari mana-mana “
“ Ya, tentu saja “
“ Jadi kamu nggak di JVC lagi ? “
“ Ya, pertengahan November lalu aku keluar “
“ Sekarang ? “
“ Sekarang aku kerja di sebuah pabrik kertas di Gresik. Tadi pulang langsung kesini “
“ Capek dong “
“ Ehm . . Nggak juga “
“ Aku ganti baju dulu ya “

Kami berdua berbicara tak terlalu banyak. Seringkali kami saling diam. Sementara itu jarum jam di kantin terus saja berputar. Jam setengah sepuluh sudah lewat semenit yang lalu. Seperti halnya jarum jam, nyamu-nyamuk pengganggu pun masih berputar-putar di telinga dan di kaki.
“ Sudah malam, sebaiknya aku pulang dulu “
“ Oh ya, ini uang kamu “
“ Tin, sudah ku bilang itu uang kamu “
“ Kamu kan yang kerja, uang ini ya hak kamu “
“ Tapi aku kerja kan buat kamu jadi . . .“
“ Kenapa kamu dulu kerja buatku ? di mana-mana orang kerja ya buat dirinya sendiri “ sela Tini.
“ Kenapa?! Karena akulah yang ngajak kamu kerja disana. Lalu kenyataannya aku nggak bisa bikin kamu seneng, kamu keluar dan akulah yang bertanggung jawab atas semua itu “
“ Sudahlah, lupakan saja. Aku nggak papa kok “
“ Tapi hatiku nggak bisa begitu. Aku harus menebus kesalahan ku. Selain itu . . . “
“ Selain itu apa ??? “
“ Ah, kamu pasti dah tau “
“ Nggak, aku nggak tau “
“ Aku . . . aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Tapi aku nggak minta apa-apa dari kamu “
“ Aku nggak bisa nerima uang itu “
“ Aku juga nggak bisa memiliki uang itu “
“ Kamu jangan aneh-aneh dong. Jangan maksa. Dosa kalo kamu maksa “
“ Maafin aku Tin, aku sama sekali nggak maksa. Aku hanya pengen kamu menghargaiku yang kerja keras selama ini “
“ Sudahlah ! kalo kamu nggak mbawa uang itu kamu nggak usah kesini lagi. Nggak usah berteman denganku lagi “
“ Tega sekali kau ngomong gitu “
“ Pokoknya bawa pulang ! “ bentak Tini sambil meletakkan uang itu di atas bangku dan menutup pintu, Bruak!!!
Mungkin sudah sepuluh menit aku duduk sendiri di bangku panjang di beranda kantin itu. Hatiku hancur. Tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Sejenak kemudian terdengar pintu berderik.
“ Sudahlah, Yan. Kamu bawa uang itu “ kali ini suara tini terdengar lembut merayu. Matanya terlihat berkaca-kaca.
“ Kalo ini uangku pasti dah aku bawa pulang. Aku taruh sini saja ya. Aku pulang”
Aku melangkah pulang. Namun baru dua langkah aku berhenti. Uang itu sudah tergolek di depanku. Terbuang.
“ kamu benar-benar tidak menghargaiku, Tini “
“ Bukannya aku gak menghargaimu. Pokoknya aku nggak bisa nerima uang itu. Itu unag kamu. “
“ Baiklah. Uang ini aku bawa dulu. Tapi suatu saat pasti akan aku kembalikan padamu. Aku pulang. Maafkan aku Tini. “


---- # # # # ----


January 28, 2003
By. Ch. apRIANsah

Sabtu, 08 Maret 2008

Puisi : GREY SKY MOURNING


Sky is so cloudy
Invites the darkness to come
Sun shines sadly
Now the beauty is gone

That lovely smile is covered
Walk away without words
Leave me lonely
With no love in me

All I feel is pain
It breaks my heart in vain
Blown away with the dust
In the cold wind of this grey dusk